Senin, 30 April 2012

Fiksi


        Jari-jemarinya lincah memutar dan memainkan sebuah botol “minuman mahal”, sementara pandangan matanya yang tajam tetap memperhatikan setiap tamu yang datang. Sesekali ia melihat handphone yang bergetar disampingnya. Sebuah pesan singkat yang berbunyi, “Mas Rio pulang jam berapa ?”. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rasa lelah, lapar, dan kekhawatirannya terhadap adikknya, Raka, membuatnya ingin segera “menggeber” CB kesayangannya melaju di jalanan yang gelap.
          Sesampainya di rumah setelah menjadi “pembalap” selama 20 menit, ia melihat adiknya, Raka, sudah terlelap di kursi ruang tamu. Rio mengangkat dan menggendong Raka, adiknya, dengan hati-hati dan membawa adik kesayangannya itu ke kamar. Sembari mengangkat adiknya, ia sesekali mendengar cacing diperut Raka yang kelaparan. “Seandainya aku lebih cepat 15 menit saja, pasti kami saat ini tengah menyantap nasi telur yang aku beli di warteg tadi”, sesal Rio. Setelah membawa Raka ke tempat tidur, ia hanya bisa memakan hasil kerja kerasnya di kafe seharian dengan ditemani alunan lagu dari radio yang mendayu-dayu yang semakin mengombang-ambingkan suasana hati Rio.
---------------------
Duduk termenung di bawah sebuah pohon beringin di halaman SD-nya, Raka memandangi seorang gadis yang tiap pagi turun dari sebuah Mercedes seri terbaru, gadis yang memiliki nama bak artis dari Perancis, Sophie, gadis berambut ikal yang selalu mengenakan bando di atas kepalanya, gadis yang ceria dan memiliki banyak teman, gadis yang wajahnya selalu ada di buku gambarnya atau di sebuah secarik kertas yang disobek dari buku matematika, dan gadis yang selalu memegang erat tangannya, mencium keningnya, dan bersandar dipundaknya, meski hanya di alam mimpi. “Bagaimana caraku membuatnya agar tertarik padaku sedangkan kami berbeda ? Ya, kami berbeda. Tidak ada yang sama. Tapi bukankah perbedaan itu harusnya disatukan ? Bukankah perbedaan itu saling melengkapi ?”. Raka, seorang anak sekolah dasar yang tiap malam “dicekok-i” sinetron kejar tayang dan ftv sekali tamat ketika ia mengerjakan PR matematika di depan tv. Miris, memang miris, seperti dua mata koin yang berbeda di tiap sisinya, Raka bisa lebih cepat memahami permasalah “orang dewasa” dari pada anak SD pada umumnya, namun pada kenyataanya, itu bukanlah dunia yang “seharusnya” ia alami. Ya, itu realitanya.
-------------------------
“Barista”, sebuah kata yang selalu terngiang di dalam kepala Rio semenjak ia bekerja “part-time” di sebuah kafe hingga saat ini. Membiayai kuliahnya, membiayai sekolah adiknya, menghidupi dirinya dan adiknya yang merantau jauh dari kampung halamannya di Jogja. Mimpi ? Tentu saja bukan. Seperti halnya Raka dan yang mengagumi Sophie, itu bukan mimpi, sama sekali bukan. Bagi mereka, mimpi adalah sinetron kejar tayang dan ftv sekali tamat. Itu adalah harapan, harapan yang membuat mereka, aku, kamu, dan kita tetap “hidup”, sebuah pemaknaan kehidupan yang sebenarnya. Karena bagi mereka, dan bagiku, mimpi bukan hanya sekedar “bunga tidur” di malam yang senyap, bukan juga sebuah dongeng putri dan pangeran dalam cerita Cinderella, tapi sebuah titik terang di ujung jalan yang sunyi dan gelap, sebuah tujuan yang suatu saat akan menjadi kenyataan, ya, suatu saat nanti . . . . 
-N-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar