Jari-jemarinya lincah memutar dan
memainkan sebuah botol “minuman mahal”, sementara pandangan matanya yang tajam
tetap memperhatikan setiap tamu yang datang. Sesekali ia melihat handphone yang
bergetar disampingnya. Sebuah pesan singkat yang berbunyi, “Mas Rio pulang jam
berapa ?”. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rasa lelah, lapar, dan
kekhawatirannya terhadap adikknya, Raka, membuatnya ingin segera “menggeber”
CB kesayangannya melaju di jalanan yang gelap.
Sesampainya
di rumah setelah menjadi “pembalap” selama 20 menit, ia melihat adiknya, Raka,
sudah terlelap di kursi ruang tamu. Rio mengangkat dan menggendong Raka,
adiknya, dengan hati-hati dan membawa adik kesayangannya itu ke kamar. Sembari
mengangkat adiknya, ia sesekali mendengar cacing diperut Raka yang kelaparan.
“Seandainya aku lebih cepat 15 menit saja, pasti kami saat ini tengah menyantap
nasi telur yang aku beli di warteg tadi”, sesal Rio. Setelah membawa Raka ke
tempat tidur, ia hanya bisa memakan hasil kerja kerasnya di kafe seharian
dengan ditemani alunan lagu dari radio yang mendayu-dayu yang semakin
mengombang-ambingkan suasana hati Rio.
---------------------
Duduk termenung di bawah sebuah pohon
beringin di halaman SD-nya, Raka memandangi seorang gadis yang tiap pagi turun
dari sebuah Mercedes seri terbaru, gadis yang memiliki nama bak artis dari
Perancis, Sophie, gadis berambut ikal yang selalu mengenakan bando di atas
kepalanya, gadis yang ceria dan memiliki banyak teman, gadis yang wajahnya selalu
ada di buku gambarnya atau di sebuah secarik kertas yang disobek dari buku
matematika, dan gadis yang selalu memegang erat tangannya, mencium keningnya,
dan bersandar dipundaknya, meski hanya di alam mimpi. “Bagaimana caraku
membuatnya agar tertarik padaku sedangkan kami berbeda ? Ya, kami berbeda.
Tidak ada yang sama. Tapi bukankah perbedaan itu harusnya disatukan ? Bukankah
perbedaan itu saling melengkapi ?”. Raka, seorang anak sekolah dasar yang tiap
malam “dicekok-i” sinetron kejar tayang dan ftv sekali tamat ketika ia
mengerjakan PR matematika di depan tv. Miris, memang miris, seperti dua mata
koin yang berbeda di tiap sisinya, Raka bisa lebih cepat memahami permasalah
“orang dewasa” dari pada anak SD pada umumnya, namun pada kenyataanya, itu
bukanlah dunia yang “seharusnya” ia alami. Ya, itu realitanya.
-------------------------
“Barista”, sebuah kata yang selalu
terngiang di dalam kepala Rio semenjak ia bekerja “part-time” di sebuah kafe
hingga saat ini. Membiayai kuliahnya, membiayai sekolah adiknya, menghidupi
dirinya dan adiknya yang merantau jauh dari kampung halamannya di Jogja. Mimpi
? Tentu saja bukan. Seperti halnya Raka dan yang mengagumi Sophie, itu bukan
mimpi, sama sekali bukan. Bagi mereka, mimpi adalah sinetron kejar tayang dan
ftv sekali tamat. Itu adalah harapan, harapan yang membuat mereka, aku, kamu,
dan kita tetap “hidup”, sebuah pemaknaan kehidupan yang sebenarnya. Karena bagi
mereka, dan bagiku, mimpi bukan hanya sekedar “bunga tidur” di malam yang
senyap, bukan juga sebuah dongeng putri dan pangeran dalam cerita Cinderella,
tapi sebuah titik terang di ujung jalan yang sunyi dan gelap, sebuah tujuan
yang suatu saat akan menjadi kenyataan, ya, suatu saat nanti . . . .
-N-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar