Rabu, 30 Mei 2012

Pendidikan, sebuah refleksi


“hasil yang maksimal adalah hasil dari sebuah usaha yang dilakukan tanpa keterpaksaan” – anonim
Tergerak dari obrolanku dengan seorang teman di balkon kampus dan obrolan di bangku SMA dengan seorang calon filsuf, aku merasa harus mengungkapkan sesuatu, sesuatu yang miris, prihatin.
Kesadaran, dorongan dari dalam, atau apapun itu sebutannya, masihkah manusia memiliki itu ? Atau, kesadaran itu sudah memudar dari dalam diri manusia ?
“Pendidikan, sebuah sistem penggerak bagi manusia guna menciptakan manusia-manusia yang berpendidikan. Penuh paksaan, penuh tekanan, guna mendapatkan hasil yang cenderung, instan”. – persepsi pribadi
Bukan apa-apa, subyektif, dunia ini membutuhkan manusia-manusia yang “cerdas”, tidak melulu “pintar”.
Lalu, dimanakah keingin-tahuan itu ? Sebuah kata yang seharusnya menjadi gairah dan esensi dari sebuah pendidikan yang sebenarnya. Berangkat dari keingin-tahuan, maka muncul-lah kesadaran dan dorongan dari dalam guna memperoleh ilmu pengetahuan, tanpa adanya sistem yang harus membatasi ruang pemikiran manusia.

Positif thinking

“Pendidikan adalah sistem yang bertujuan untuk men-stimulus rasa keingin-tahuan manusia terhadap segala macam pengetahuan”

Membangun kesadaran akan keingin-tahuan, atau tetap terdikte dengan sistem tanpa mau melihat keluar

Mari ber-refleksi
-N-
15.28

Sabtu, 12 Mei 2012

Positif-Negatif, sebuah Refleksi


“jangan dekat-dekat sama orang yang lagi ngrokok atau mabuk”, sebuah petuah dari eyang putri ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sebuah pertanyaan yang menggantung ketika pernyataan itu keluar dari mulut wantia yang mengurusku selama 18 tahun. Apakah orang yang merokok dan minum minuaman keras itu mencerminkan bahwa orang itu “negatif” ?

Negatif
Identik dengan sebuah perilaku, sifat, sikap, atau kebiasaan yang buruk, mungkin lebih tepatnya “dianggap” buruk. Mutlakkah hal itu ? Ataukah masih bisa diperdebatkan ? Contoh kecil: Merokok, sebagian besar orang yang tidak merokok menganggap merokok adalah sebuah kebiasaan yang negatif. Argumennya, sesuai yang dipaparkan pada kata-kata yang terdapat pada bungkus rokok, “merokok dapat menyebabkan kanker, blablablablablabla…………”. Oke, back to the point, lalu bagaimana jika orang merokok dan ia mendapat berbagai macam inspirasi, atau bagaimana jika merokok bisa merekatkan sebuah persahabatan atau persaudaraan, masihkah negatif ?

Positif
Identik dengan sebuah perilaku, sifat, sikap, atau kebiasaan yang baik, mungkin lebih tepatnya “dianggap” baik. Akankah selalu atau benar-benar baik ? Lagi, sebuah contoh kecil: Membela agama, banyak orang yang rela berjuang demi membela agama mereka masing-masing. Oke, pada dasarnya setiap agama itu baik, no doubt, right ? Dan membela dan berjuang untuk agama tertentu juga tidak dapat dipersalahkan. Terlepas dari perdebatan mengenai filosofi masing-masing agama, apakah perselisihan antar agama dengan “modus” membela agama yang mereka percayai itu masih layak dilakukan ? Toh, pada dasarnya setiap agama baik dan “dia”  yang satu dan disebut dalam berbagai macam nama menginginkan keharmonisan dalam berbebagai keberagaman, right ? Lagi, sebuah pertanyaan reflektif, masihkah hal itu di katakan mutlak sebagai hal yang positif ?

Lalu apa ?
Positif-negatif, baik-buruk, hanyalah sebuah konstruksi, bentukan, buatan manusia. Konstruksi yang dibuat (mungkin) untuk membuat kita semakin skeptis, kritis, dan tentu saja reflektif melihat fenomena yang ada. Men-judge sebuah fenomena dengan hanya melihat positif dan negatif dari fenomena tersebut (mungkin) bukanlah hal yang bijak. Namun alangkah lebih tepat bila kita mengkritisi sebuah fenomena secara argumentatif demi menghindari judgement yang terlalu normatif. Nggak ada salahnya kan ?

Karena dari hal sekecil apapun, inspirasi itu hadir, selamat menikmati
-N-

Kamis, 10 Mei 2012

Untukmu yang "Transenden"


“Tuhan, yang satu, yang transenden (re: di luar segala kesanggupan manusia; luar biasa; utama), Engkau yang disebut dalam berbagai nama, aku sebagai temanmu, “kancamu” (re: temanmu), “sedulurmu” (re: saudaramu), ingin mengungkapkan keresahanku……” – kutipan curhatanku tadi malam


*Dab (re: panggilan akrabku untuk Tuhan), sebenarnya mengapa kamu membiarkan dirimu disebut dalam berbagai nama ? Kenapa kamu harus menginspirasi manusia untuk menciptakan sebuah “tembok pemisah” yang disebut sebagai agama ?


*keresahan yang kian memuncak*


Dab, aku khawatir dengan segala konstruksi-konstruksi buatan ini yang makin lama makin memperjauh jarakku denganmu. Aku khawatir dengan segala perbedaan yang seharusnya bisa berjalan beriringan menuju-mu yang transenden, namun pada kenyataannya…………kami semakin menjauh dengan pertikaian yang mengatas namakan segala konstruksi buatan itu……


*asap rokok bak kabut pegunungan mulai mengepul deras*


Kamu adalah sedulurku yang paling tidak aku mengerti jalan pikirannya. Sampai kapan kami harus bertikai ? Sampai kapan konflik berdarah antara kami harus terjadi ? Atau……………sebenarnya kamu yang mendesain konflik ini untuk membuka pikiran kami tentangmu, wahai sedulur sangarku………


Ketika kamu sudah bosan dengan berbagai macam pertanyaan, pujian, permohonan, dan permintaan maaf…………………


Tak enteni neng burjo palm kuning jam 9 bengi. Sopo ngerti awake dewe iso ngobrol jero...... Sak udutan rong udutan yo rapopo………. (re: aku tunggu di burjo palm kuning jam 9 malam. Siapa tahu kita bisa membicarakan sesuatu hal yang mendalam. Satu atau dua rokok-an juga tidak apa)

-N-

Selasa, 08 Mei 2012

Berawal dari Sebatang Rokok


Berawal dari sebatang rokok……
Aku menemukan siapa aku, kami menemukan siapa kami, kita menemukan siapa kita. Aku mengutarakan persepsiku, kami mengutarakan persepsi kami, kita mengutarakan persepsi kita, masing-masing. Kami homogen, dengan berbagai pemikiran heterogen.

Berawal dari sebatang rokok……
Bukan karena kantong kami yang pas-pasan dan tidak mampu membeli sebungkus rokok, walaupun memang pas-pasan. Bukan juga karena kami yang terlalu pelit. Ini untuk kami, atau siapapun, yang memegang teguh sebuah “paseduluran” atau “persaudaraan”. Kami tidak sedarah, tidak dari orang tua yang sama, atau memiliki ikatan persaudaraan biologis. Ini sebuah ikatan, ikatan yang kami sendiri pun tidak bisa mendefinisikan ikatan ini. Erat, sangat erat. Kami berasal dari daerah yang berbeda-beda, suku yang berbeda-beda, “TUHAN” yang berbeda-beda, namun………kami pernah berada dalam sebuah “kolam” terbaik yang pernah kami temui sepanjang hidup kami. Tidak akan pernah kami lupakan, dan itu hidup di dalam setiap dari kami.

Berawal dari sebatang rokok……
Aku tidak bisa menemukan suasana ini di tempat lain. Aku tidak pernah menemukan perdebatan ini di tempat lain. Aku tidak akan pernah menemukan persaudaraan sesempurna ini. Sempurna, indikator kesempurnaan masing-masing orang pasti berbeda. Sempurna, bahkan hanya untuk membayangkan 10-15 tahun lagi ketika kami sudah berada di tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, dan situasi yang berbeda, aku merasa tidak mampu. Buatku, itu sempurna.

Berawal dari sebatang rokok………
Aku menemukan esensi dari sebuah proses pembelajaran. Setumpuk buku dan 3 sks yang setiap hari harus kutempuh-pun bahkan tidak bisa menggantikan seberapa berharganya “mereka” di mataku. Sekedar persepsi, ketika manusia mencari manfaat dari apa yang manusia itu lakukan, terkadang manusia itu melupakan esensinya. Esensi, segelintir topik di tengah asap rokok yang terus mengepul malam ini. Pembicaraan yang tak kunjung sampai pada titik “akhir”.

Berawal dari sebatang rokok………

Bahkan dari benda sekecil rokok, benda yang dianggap bisa merusak tubuh manusia, sebuah benda yang memiliki image negatif di mata segelintir orang……..

Aku bisa melihat dunia

-N-